BENGKULU UTARA,kabardaerah.com – Tanah memiliki hubungan yang abadi dengan manusia. Pengaturan tentang penguasaan pemilikan tanah telah disadari dan dijalankan sejak berabad-abad lamanya oleh negara-negara di dunia. Belum adanya ketegasan hukum yang mengatur tentang batasan hak dalam kepemilikkan lahan untuk kebun masyarakat sekarang ini saja menjadi pertanyaan besar. Investor dianak emaskan.Sektor pajak perkebunanpun di Kabupaten Bengkulu Utara makin tidak jelas.
Kepada media ini,Arsi, Ketua Lembaga Tinggi Pengendalian Ketahanan Stabilitas Nasional,Pers Informasi Negara Republik Indonesia (LTPKSN-PINRI) memberikan gambaran, Luas maksimum tanah hak guna bangunan (HGB) juga tidak diatur oleh UUPA. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 6 tahun 1972, Pasal 4 menyatakan keputusan pemberian HGB untuk tanah yang luasnya tidak lebih dari 2.000 meter persegi dan jangka waktunya tidak melebihi 20 tahun di-berikan oleh Gubernur. Sedangkan menurut peraturan Meneg Agraria No. 2 tahun 1993, Surat Keputusan pemberian HGB untuk tanah yang luasnya lebih dari 5 hektar diterbitkan oleh Kakanwil BPN dan jika luasnya kurang dari 5 hektar diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan. Hal ini menjadi salah satu hambatan dalam pelaksanaan aturan tentang batas luas maksimum dan minimum tanah yang dapat dimiliki.
Peraturan yang jelas dan tegas tentang pembatasan pemilikan tanah kini menjadi semakin penting, seiring dengan kebutuhan atas tanah yang semakin meningkat. Terhadap penguasaan tanah pertanian, Pasal 7 UUPA meletakkan prinsip bahwa pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperk-enankan agar tidak merugikan kepentingan umum. Maka, Pasal 11 ayat (1) UUPA mengatur hubungan antara orang dengan tanah beserta wewenang yang timbul darinya. Hal ini juga dilakukan guna mencegah penguasaan atas kehidupan dan perkerjaan orang lain yang melampaui batas. Kemudian ayat 2 dari pasal yang sama juga memperhatikan adanya perbedaan dalam keadaan dan keperluan hukum berbagai golongan masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
“Besar harapan masyarakat terhadap pemerintah daerah dan wakil rakyat untuk memberikan kepastian hukum dalam hal pengelolaan serta kepemilikan atas tanah yang dikuasi secara pribadi. Di Bengkulu Utara tidak sedikit lahan yang dikuasi oleh pejabat. Bahkan lebih dari 25 hektar.Masyarakat untuk menggarap lahan, sudah tidak bisa lagi. Karena disamping sudah dikuasi oleh perusahaan melalui HGU,juga lahan yang dikuasai oleh pejabat yang punya uang banyak,”beber Asri,Senin (18/9/2017)
Dilanjutkannya,Penekanan dari aturan ini adalah akan diberikannya jaminan perlindungan terhadap kepentingan golongan ekonomi lemah. Dalam Pasal 12 dan Pasal 13 UUPA, pemerintah menegaskan usaha pencegahan monopoli swasta. Sedangkan usaha pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan undang-undang.
“Melihat kenyataan,sesungguhnya di Bengkulu Utara,prekonomian masyarakat masih lemah. Hal itu disebabkan belum seriusnya pihak pemerintah dalam menata serta memberikan batasan usaha perkebunan yang dimiliki oleh para pejabat secara pribadi,”ungkap Arsi.
Selain itu,Ia juga meminta kepada pihak Pemerintah Kabupaten Bengkulu Utara,majunya suatu daerah adalah sektor ekomoni masyarakat. Belum tersedianya aturan yang jelas dalam pengelolaan lahan/tanah khusus masyarakat. Ketersediaanya lapangan pekerjaan dengan membuat aturan yang tegas terhadap pihak perusahaan. Baik bergerak dalam bidang perkebunan maupun pertambangan.
“Banyak investor,masyarakat masih miskin. Pajak daerah sebagai urat nadi pembangunan setiap tahunnya tidak jelas. Pendapatan Asli Daerah Kabupaten terkesan jalan ditempat. Bengkulu Utara Kaya Sumber Daya Alamnya (SDA).Lantas apa menyebabkan itu?,”tanya Asri. (Edi)
Discussion about this post